Perang bukan hanya tentang letusan senjata dan kehancuran fisik. Konflik antara Thailand dan Kamboja yang terjadi beberapa dekade lalu meninggalkan jejak yang tak kasat mata pada masyarakat kedua negara. Luka mental dan fisik yang ditinggalkan pasca-perang tak selalu terlihat secara langsung, namun efeknya masih terasa hingga kini—membentuk realitas kehidupan yang penuh trauma, ketakutan, dan perjuangan untuk pulih.
Warisan Konflik: Luka yang Membekas
Meski situasi politik antara Thailand dan Kamboja kini jauh lebih tenang, sejarah perang perbatasan mereka meninggalkan dampak mendalam, terutama bagi warga sipil yang hidup di daerah konflik. Anak-anak yang tumbuh di masa itu, keluarga korban perang, hingga para veteran kini masih menyimpan trauma psikologis yang sulit dihapus.
Baca juga: Fakta Mengejutkan di Balik Zona Perbatasan yang Kini Jadi Tempat Wisata
Beberapa dampak mental dan fisik pasca-perang yang masih membayangi:
-
Gangguan Kecemasan dan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder)
Banyak warga yang mengalami mimpi buruk, kecemasan berlebihan, dan ketakutan mendalam akibat pengalaman traumatis saat konflik. -
Kehilangan Akses Pendidikan dan Kesehatan
Fasilitas publik hancur saat perang, membuat banyak anak kehilangan hak dasar untuk belajar dan mendapatkan layanan kesehatan. -
Kehidupan dalam Ketidakpastian Ekonomi
Perang menghambat pertumbuhan ekonomi daerah konflik, membuat banyak keluarga hidup dalam kemiskinan berkepanjangan. -
Cacat Fisik dan Kurangnya Rehabilitasi
Korban ranjau darat dan luka tembak masih banyak yang hidup dengan kondisi fisik terbatas, namun akses terhadap rehabilitasi sangat minim. -
Generasi Muda Tumbuh dengan Narasi Trauma
Anak-anak yang besar dari keluarga terdampak konflik sering membawa beban psikologis dari cerita dan pengalaman orang tua mereka.
Dampak perang tidak pernah benar-benar berakhir saat senjata diletakkan. Luka mental dan fisik membutuhkan waktu yang lama untuk disembuhkan, bahkan mungkin bertahan seumur hidup. Pemulihan pasca-perang bukan hanya soal rekonstruksi bangunan, tetapi juga tentang membangun kembali harapan, menyembuhkan trauma, dan memastikan generasi masa depan tidak lagi mewarisi luka yang sama